Selasa, 27 September 2016
Selasa, 26 Juli 2016
Lebih baik mati! Hidup juga udah gak
guna!
Ungkapan
ini dilontarkan seorang remaja putra dengan sangat emosi sampai-sampai suaranya
terdengar bergetar. Ungkapan itu terdengar tidak elok, bahkan mungkin tidak
pantas. Tabu, pantang atau pamali. Mengejutkan. Boleh jadi si remaja itu letih,
sangat letih atau mulai putus asa, frustrasi.
Sudah lebih dari sebulan ia menunggui
ayahnya yang terbujur tak berdaya di ruang ICU. Ia bungsu dan satu-satunya
lelaki. Ketiga kakaknya perempuan. Karena satu-satunya lelaki, maka ia harus
menemani ibu atau kakaknya di malam hari menunggui sang ayah. Mereka tidur di
sebuah ruang kecil yang memang disediakan bagi keluarga klien yang dirawat di
ruang ICU.
Pastilah tidak menyenangkan tidur di
ubin beralaskan karpet dan kasur tipis. Meski ber AC, ruangan itu agak panas
karena terlalu banyak manusia di dalamnya. Hanya keluarga mereka yang menunggu
berdua. Keluarga lain ada yang sampai empat orang menunggu di situ.
Pagi sekali ia harus pulang
mengendarai motor sendiri agar tidak terlambat sampai di sekolah. Jarak dari
rumah sakit ke rumahnya bisa ditempuh satu setengah jam bila tidak macet.
Sekolahnya tidak terlalu jauh dari rumah.
Mungkin, karena sudah lebih dari
sebulan, ia mulai merasa penat. Kegiatan rutinnya terganggu dan ia harus
menjalani hidup yang sama sekali berbeda. Apalagi jika memerhatikan ayahnya di
ruang ICU dari balik kaca. Ia merasa sangat sedih, putus asa dan sama sekali
tidak mengerti.
Mengapa ayahnya yang begitu baik,
dermawan, sangat peduli terhadap orang miskin, rajin beribadah harus terbujur
kaku tak berdaya di ruang yang dipenuhi peralatan yang tertancap di banyak
bagian tubuh ayahnya. Sedangkan banyak orang jahat yang dirasuki kebencian, iri
hati, koruptor, pemerkosa anak-anak berkeliaran dalam keadaan sehat di luar
sana. Mengapa bukan mereka yang terbujur di sini sebagai balasan atas
kejahatannya?
Ia sekeluarga memang sama sekali
tidak siap dan sangat kaget serta terpukul mengahadapi musibah yang sangat
tiba-tiba ini. Ayahnya tidak mengidap penyakit berbahaya seperti jantung,
diabetes, darah tinggi atau gangguan organ serius. Ayahnya sehat-sehat saja.
Semua ini bermula akibat pengemudi truk
bejat menyetir dalam keadaan mabuk. Mobil ayahnya ditabrak oleh truk yang
ugal-ugalan. Supir ayahnya meninggal di tempat kejadian, dan ayahnya koma
sampai hari ini. Sang sopir truk kini dirawat di rumah sakit yang berbeda
dengan kaki dan tangan patah, serta berstatus sebagai tahanan Polisi.
Karena keadaan ayahnya semakin
memburuk, sudah tiga kali dilakukan rapat keluarga besar yang melibatkan
seluruh keluarga ayahnya. Sebenarnya suara mayoritas menginginkan semua
peralatan yang disambungkan ke tubuh ayahnya segera dicabut. Sangat kasihan
membiarkan ayahnya diperlakukan seperti itu. Ia dan kakak-kakaknya juga tidak
keberatan.
Tetapi ibunya belum ikhlas melepas
ayahnya. Ia berpikir, mungkin ketidakikhlasan ibunya itu yang membuat ayahnya
masih bertahan. Ibunya percaya, manusia boleh mengharapkan mukjizat dari Allah.
Ia dapat menerima penolakan ibunya. Ia yakin, dalam masalah pelik seperti ini,
suara terbanyak bukanlah penentu. Ini bukan sedang pemilihah kepala desa,
pikirnya.
Namun, belakangan ia mulai berpikir
bahwa lebih baik ayahnya wafat. Ia berpikir seperti itu bukan karena tidak
menyayangi dan mencintai ayahnya. Ia mendengar keterangan dari dokter bahwa
ayahnya mengalami cedera sangat berat pada kepalanya. Otaknya sudah tidak bisa
berfungsi normal kembali. Benturan keras membuat kepala dan otak ayahnya
benar-benar mengalami kerusakan fatal.
Ia mencari berbagai informasi di
Google tentang cedera otak. Benar saja, jika dipertahankan hidup, ayahnya sudah
tak lagi bisa berfungsi sebagai manusia normal. Makin lama di ruang ICU pasti
menghabiskan uang. Mereka sudah menjual dua motor. Ayahnya pedagang, memiliki
toko di Tanah Abang dan beberapa tempat lain. Jika begini terus, pasti semuanya
akan tersedot habis. Bagaimana keluarga ini menghadapi hidup selanjutnya?
Bukankah keluarga ini harus melanjutkan hidup, apapun keadaannya?
Ungkapan lebih baik mati, hidup juga
gak guna, terasa tidak sopan, sarkas atau kasar, boleh jadi menggambarkan
keputusasaan. Namun dalam konteks seperti ini rasanya tidaklah demikian artinya.
Kala manusia menghadapi pilihan-pilihan yang sulit, cara menilai pastilah tidak
sama dengan keadaan normal.
Menghadapi situasi seperti ini memang
sangat problematis. Terutama bagi manusia yang memiliki iman dan menghayati
spiritualitas. Di beberapa negara Barat sudah ada regulasi yang membolehkan
manusia disuntik untuk mengakhiri hidup bila memenuhi sejumlah persyaratan,
agar tidak terlalu lama menderita. Salah satu sumber regulasi itu adalah hak
asasi manusia. Pemikiran yang sepenuhnya rasional yang tidak didasarkan pada
iman atau spiritualitas memang sederhana. Sesederhana matematika duniawi. Tiga
dikurang satu pasti dua.
Tidak demikian halnya dengan
matematika yang didasarkan pada iman, yang melekat dengan spiritualitas. Bila
Anda memiliki uang seribu rupiah dan memberikan lima ratus rupiah dengan ikhlas
kepada orang yang pantas menerimanya, faktanya uang Anda sisa lima ratus
sebagaimana yang diajarkan matematika duniawi.
Tetapi matematika yang didasarkan pada
iman menegaskan, Allah pasti, bukan akan, membalasnya berkali-kali lipat. Ini
garansi dari Allah. Balasan itu bisa dalam bentuk uang juga. Tetapi tidak
selalu dalam bentuk uang. Bisa berupa kesehatan, keselamatan, dan bentuk-bentuk
lainnya.
Begitupun manghadapi kematian. Secara
rasional benar adanya bahwa jika manusia mengalami kerusakan otak, apalagi
parah pasti tidak lagi dapat berfungsi sebagai manusia normal. Karena itu untuk
apa dipertahankan tetap hidup?
Ini bukan sekadar soal apakah manusia
masih bisa berfungsi lagi atau tidak. Bahkan bukan hanya soal bisa sembuh lagi
atau tidak. Ini soal siapa yang menentukan kematian.
Mengapa ada orang yang menderita
begitu lama sebelum akhirnya wafat? Ada rahasia di balik semua itu. Penalaran
rasional memang tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya secara mendalam.
Menghadapi situasi ini dibutuhkan penalaran spiritual. Penentunya adalah
keyakinan akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan.
Agama mengajarkan, penderitaan yang
dialami oleh manusia sebelum wafat dalam bentuk sakit berkepanjangan,
penderitaan mereka yang diluluhlantakkan tsunami, gempa bumi dan bencana lain,
memiliki makna di hadapan Allah. Semuanya diperhitungkan, diberi tempat. Itulah
sebabnya suntik mati tidak dibenarkan bagi manusia yang sangat menderita
sekalipun oleh aturan agama.
Kematian memang memiliki makna yang
tak menyenangkan. Kematian lekat dengan kehilangan, kesedihan, dan pedihnya
ditinggalkan oleh orang yang dicintai. Namun, kadang kematian adalah solusi
terbaik. Bila si ayah yang telah lama terbujur di ruang ICU wafat, pastilah
merupakan solusi bagi penderitaan keluarga ini.
Meskipun tetap akan dihadapi dan
dialami dengan kesedihan mendalam. Namun, terselip rasa syukur. Biasanya secara
halus diungkapkan dengan cara tidak langsung seperti, kepergian ini merupakan
yang terbaik baginya. Terbaik bagi semuanya. Meski kita sangat menyayangi dan
mencintainya, tetapi Allah lebih mencintainya. Ungkapan yang membuat semua yang
terlibat dalam kesedihan merasa lebih lega dan enteng.
Kematian
sebagai solusi juga bisa dialami oleh negara. Pada negara-negara komunis yang
dengan sengaja mentradisikan kultus individu, seringkali kematian merupakan
solusi terbaik untuk mengatasi konflik dan membuat negara menjadi stabil.
Saat Mao Tse Tung makin sepuh dan
kurang berfungsi, ia tetap jadi pemimpin besar. Karena para pendukung utama
dalam lingkar dalam kekuasaan tetap membutuhkan kehadiran sosoknya agar tetap
berada dan memertahankan kekuasaan. Tak pernah gampang mengganti pemimpin besar
di negara-negara komunis.
Sementara pemimpin besar semakin
dipunukkan penyakit parah, berkembanglah beragam spekulasi dan konflik yang
membuat negara menjadi tidak stabil. Ketegangan bisa berkepanjangan bila sang pemimpin
besar tidak pernah muncul ke publik.
Berbagai kelompok kepentingan bahkan
bisa secara langsung berhadap-hadapan memperebutkan kekuasaan. Kala akhirnya si
pemimpin besar wafat, biasanya stabilitas negara secara perlahan bisa
dikembalikan, pemimpin besar baru pun muncul. Cina mengalaminya pada masa Mao
dan Deng Xiao Ping. Korea Utara mengalaminya pada sama Kim Il sung dan Kim Jong
Il. Cuba juga mengalaminya.
Kematian kadang merupakan solusi
terbaik untuk sejumlah masalah yang dihadapi keluarga bahkan negara. Meski
begitu, manusia tetap harus sepenuhnya menyadari bahwa penentu kematian adalah
Allah.
“KEMATIAN KADANG MENJADI
PROBLEMATIS.”
Selasa, 19 Juli 2016
LIBURAN SEKOLAH GREGET
LIBURAN SEKOLAH
Pada hari keduabelas liburan sekolah, nenekku mengusulkan
agar kami sekeluarga berlibur ke Jogjakarta. Karena aku dan adikku kebetulan
tidak memiliki acara yang berkepentingan, kami akhirnya menyetujui usulan
tersebut. Nenekku membeli tiket menuju Jogja beserta tante dan saudara
saudaraku yang bertempat di Singapura. Kami memutuskan untuk menginap di Jogja
selama tiga hari.
Saat itu tanggal 24, hari Jumat pukul tujuh pagi. Nenekku
datang ke rumah untuk menjemputku dan adik lelakiku yang biasa kupanggil Ilham.
Setelah kami sarapan, kami langsung menaiki mobil jeep milik ayah ku menuju
Bandara Soekarno-hatta. Awalnya kukira karena saat itu sedang masa liburan
sekolah mobil akan menumpuk sampai jalanan padat. Untungnya, perkiraanku salah
sehingga kami sampai di bandara dengan tidak memakan waktu lama.
Karena lapar, kami akhirnya melahap beberapa makanan dan
minuman di bandara selama menunggu pesawat datang. Sesaat setelah adzan dzuhur
berkumandang, kakek nenekku serta aku dan Ivan melaksanakan sholat. Setelah
itu, kami berempat bergegas menuju boarding
pesawat sebelum kita melandas terbang seketika. Walaupun perjalanan dari
Jakarta ke Jogja tidak terlalu lama, aku tetap menyempatkan diri untuk
beristirahat dengan tidur siang.
Tak lama setelah itu, pesawat mendarat. aku, nenek kakekku
serta Ivan membawa koper masing-masing sebelum kemudian keluar dari pesawat dan
menuju Bandara Adisucipto untuk menemui tante dan saudaraku. Mereka menaiki
pesawat yang berbeda, tetapi tetap mendarat di waktu yang sama sehingga kami
tidak perlu menunggu lama. Setelah melaksanakan acara ‘reuni singkat’ yang
hanya memakan waktu beberapa menit, nenekku langsung mencari seorang sopir yang
selama tiga hari ini akan membawa kami mengenal beberapa area pariwisata di
Jogjakarta. Sopir itu bernama Mas Ardi.
Pada awalnya, kami berencana akan pergi ke hotel dan
berenang. Aku dengar kolam hotelnya sangat hangat dan nyaman. Sayangnya, karena
turunnya hujan deras yang tidak disangka sangka aku dan saudaraku terpaksa
membatalkan acara tersebut. Karena acara berenang tidak kami laksanakan hari
itu, kami memutuskan untuk melewati waktu dengan melihat-lihat beberapa lukisan
berharga yang terletak di lantai paling atas hotel yang kami tempati. Lukisan
itu bermacam macam bentuknya. Ada yang dilukis dengan cat akrilik maupun cat
minyak.pelukis itu melukis pegunungan serta masih banyak lagi. Semuanya dilukis oleh orang-orang Jogja.
Keesokan harinya, kami mengunjungi candi Borobudur. Tentu
saja, kalian sudah pasti mengenal cerita candi yang cukup terkenal tersebut,
kan? Ya, candi itu kabarnya dibuat oleh Jin yang menikahi Roro Jonggrang dengan
syarat dia membangun 99 candi dalam satu malam. Tetapi karena Roro Jonggrang
melanggar janjinya, jin tersebutpun marah dan mengubah wujud Roro Jonggrang
menjadi candi yang keseratus. Wilayah lokasi tersebut sangatlah ramai, sehingga
kami sedikit kesusahan saat menaiki dan menuruni candi. Ivan sendiri sempat
jatuh sehingga kakinya tergores.
Tepat setelah kami bermain, akhirnya kami pulang menuju
hotel dan berenang selama beberapa jam. Malamnya, kami memesan makanan. Aku
memesan salmon teriyaki dan Ivan memesan ayam goreng. Kami makan dengan lahap, kemudian
segera tidur nyenyak.
Esoknya kami berwisata menuju candi prambanan. Salah satu
lokasi yang cukup terkenal pula. Candi prambanan tidak seluas candi Borobudur
yang bercorak Buddha. Tetapi para turis yang berkunjung tidak kalah banyaknya.
Kami sempat berfoto di beberapa candi tersebut kemudian setelah itu pulang ke
Jakarta.
Rabu, 09 Maret 2016
Pelantikan Pramuka SMP Labschool Jakarta
Pada hari sabtu (27/2), siswa
kelas 7 melaksanakan pelantikan pramuka untuk menjadi anggota pasukan pramuka
penggalang. Kegiatan ini menjadi wajib bila ingin menuju ke tingkat yang lebih
tinggi yaitu penggalang ramu. Semua siswa antusias walaupun ada beberapa siswa
yang tidak bisa mengikuti kegiatan ini dengan alasan tertentu.
Pada pukul 7 pagi, kami melaksanakan apel pemberangkatan.setelah apel
selesai, dari beberapa regu sudah
disatukan untuk menaiki satu tronton. Akhirnya para regu berpamitan kepada
orang tua dan bersiap untuk menuju tronton masing- masing.
Pada pukul sekitar 8 lewat beberapa menit, kami sampai di Studio Alam
TVRI Depok. Disana sedang ada syuting film sehingga kita harus berjalan kaki
menuju dalam lokasi. Disana,kita harus menjalankan misi yang diperintahkan oleh
kakak pembina.
Pertama, kita harus menjawab semua pertanyaan seputar pramuka supaya
kita bisa langsung menjalankan misi. Setelah menyelesaikan pertanyaan, kita
harus berjalan mengikuti petunjuk yaitu tali yang berbentuk ikan dan mengikuti
arah kemana kepala ikan itu berada sampai kita menemukan pos.
Di
pos 1, kita diuji hafalan Tri Satya dan Dasa Darma serta pengamalan dalam
kehidupan sehari-hari. Jika sudah selesai, kita langsung melanjutkan perjalanan
menuju pos 2. Tetapi pada saat perjalanan, salah seorang anggota dari regu
kami, yaitu regu Aster yang bernama Safina kehilangan semapur sehingga kami
kembali ke tempat awal. Tapi alhasil, kami tidak menemukan apa-apa. Akhirnya
kami melanjutkan perjalanan menuju pos 2.
Di pos 2, kita di uji tentang kepandaian kita memainkan semapur dan
hafalan kita tentang sempur. Setiap regu harus menebak kalimat yang diberikan
kakak pembina untuk menuju pos selanjutnya. Setelah selesai menyelesaikan pos
2, kami pun melanjutkan perjalanan ke pos 3.
Di pos 3, kita di uji tali temali dengan cara membuat tandu yang
nantinya akan ada salah satu anggota yang berpura- pura sakit yang akan naik
tandu sampai ke pos selanjutnya. Disini butuh kekompakan karena kalau tidak,
tidak akan pernah selesai membuat tandunya. Ketika sudah selesai, kita harus
mengangkat anggota yang berpura- pura sasit menuju pos selanjutnya.
Di
pos 4, sang anggota yang berpura - pura sakit harus diperban di bagian tubuh
yang ceritanya sedang sakit. Lalu, kita harus membawa si anggota yang ebrpura-
pura sakit ke garis finish dengan melewati banyak rin tangan. Seperti simulasi
ketika kita membawa korban yang sakit ke dalam gua, tebing dan lorong sempit
dan tempat yang ekstrim lainnya.
Setelah menyelesaikan semua rintangan di pos yang ada, tugas kami belum
selesai. Kami harus melapor kepada kakak Pembina untuk memberitahu bahwa kita
sudah selesai melaksanakan tugas. Tapi sebelum
melapor, kita masih ada ujian PBB jika ingin istirahat. Sehabis itu , kami
diberi kode yang harus diselesaikan dengan sandi- sandi pramuka. Setelah
selesai, baru kami dapat istirahat.
Pada saat istirahat, kami melaksanakan salat Zuhur yang dijamak qasar
dengan Ashar. Setelah itu , kami melaksanakan makan bersama regu masing-masing.
Setelah makan, kita harus membereskan sampah yang ada di sekitar kita sehabis
makan. Sisanya, kita beristirahat dengan bermain bebas.
Setelah istirahat selesai, kami ada persiapan untuk gladi bersih upacar
pelantikan anggota pasukan paramuka penggalang. Setelah beberapa lama, akhirnya
upacara dimulai. Upacara pelantikan anggota pasukan pramuka penggalang
berlangsung dengan hikmat. Akhirnya pada saat itu kami resmi menjadi Anggota
Pasukan Pramuka Penggalang SMP Labschool Jakarta dengan gugus depan nomor
03.359- 03.360
Langganan:
Postingan (Atom)