Lebih baik mati! Hidup juga udah gak
guna!
Ungkapan
ini dilontarkan seorang remaja putra dengan sangat emosi sampai-sampai suaranya
terdengar bergetar. Ungkapan itu terdengar tidak elok, bahkan mungkin tidak
pantas. Tabu, pantang atau pamali. Mengejutkan. Boleh jadi si remaja itu letih,
sangat letih atau mulai putus asa, frustrasi.
Sudah lebih dari sebulan ia menunggui
ayahnya yang terbujur tak berdaya di ruang ICU. Ia bungsu dan satu-satunya
lelaki. Ketiga kakaknya perempuan. Karena satu-satunya lelaki, maka ia harus
menemani ibu atau kakaknya di malam hari menunggui sang ayah. Mereka tidur di
sebuah ruang kecil yang memang disediakan bagi keluarga klien yang dirawat di
ruang ICU.
Pastilah tidak menyenangkan tidur di
ubin beralaskan karpet dan kasur tipis. Meski ber AC, ruangan itu agak panas
karena terlalu banyak manusia di dalamnya. Hanya keluarga mereka yang menunggu
berdua. Keluarga lain ada yang sampai empat orang menunggu di situ.
Pagi sekali ia harus pulang
mengendarai motor sendiri agar tidak terlambat sampai di sekolah. Jarak dari
rumah sakit ke rumahnya bisa ditempuh satu setengah jam bila tidak macet.
Sekolahnya tidak terlalu jauh dari rumah.
Mungkin, karena sudah lebih dari
sebulan, ia mulai merasa penat. Kegiatan rutinnya terganggu dan ia harus
menjalani hidup yang sama sekali berbeda. Apalagi jika memerhatikan ayahnya di
ruang ICU dari balik kaca. Ia merasa sangat sedih, putus asa dan sama sekali
tidak mengerti.
Mengapa ayahnya yang begitu baik,
dermawan, sangat peduli terhadap orang miskin, rajin beribadah harus terbujur
kaku tak berdaya di ruang yang dipenuhi peralatan yang tertancap di banyak
bagian tubuh ayahnya. Sedangkan banyak orang jahat yang dirasuki kebencian, iri
hati, koruptor, pemerkosa anak-anak berkeliaran dalam keadaan sehat di luar
sana. Mengapa bukan mereka yang terbujur di sini sebagai balasan atas
kejahatannya?
Ia sekeluarga memang sama sekali
tidak siap dan sangat kaget serta terpukul mengahadapi musibah yang sangat
tiba-tiba ini. Ayahnya tidak mengidap penyakit berbahaya seperti jantung,
diabetes, darah tinggi atau gangguan organ serius. Ayahnya sehat-sehat saja.
Semua ini bermula akibat pengemudi truk
bejat menyetir dalam keadaan mabuk. Mobil ayahnya ditabrak oleh truk yang
ugal-ugalan. Supir ayahnya meninggal di tempat kejadian, dan ayahnya koma
sampai hari ini. Sang sopir truk kini dirawat di rumah sakit yang berbeda
dengan kaki dan tangan patah, serta berstatus sebagai tahanan Polisi.
Karena keadaan ayahnya semakin
memburuk, sudah tiga kali dilakukan rapat keluarga besar yang melibatkan
seluruh keluarga ayahnya. Sebenarnya suara mayoritas menginginkan semua
peralatan yang disambungkan ke tubuh ayahnya segera dicabut. Sangat kasihan
membiarkan ayahnya diperlakukan seperti itu. Ia dan kakak-kakaknya juga tidak
keberatan.
Tetapi ibunya belum ikhlas melepas
ayahnya. Ia berpikir, mungkin ketidakikhlasan ibunya itu yang membuat ayahnya
masih bertahan. Ibunya percaya, manusia boleh mengharapkan mukjizat dari Allah.
Ia dapat menerima penolakan ibunya. Ia yakin, dalam masalah pelik seperti ini,
suara terbanyak bukanlah penentu. Ini bukan sedang pemilihah kepala desa,
pikirnya.
Namun, belakangan ia mulai berpikir
bahwa lebih baik ayahnya wafat. Ia berpikir seperti itu bukan karena tidak
menyayangi dan mencintai ayahnya. Ia mendengar keterangan dari dokter bahwa
ayahnya mengalami cedera sangat berat pada kepalanya. Otaknya sudah tidak bisa
berfungsi normal kembali. Benturan keras membuat kepala dan otak ayahnya
benar-benar mengalami kerusakan fatal.
Ia mencari berbagai informasi di
Google tentang cedera otak. Benar saja, jika dipertahankan hidup, ayahnya sudah
tak lagi bisa berfungsi sebagai manusia normal. Makin lama di ruang ICU pasti
menghabiskan uang. Mereka sudah menjual dua motor. Ayahnya pedagang, memiliki
toko di Tanah Abang dan beberapa tempat lain. Jika begini terus, pasti semuanya
akan tersedot habis. Bagaimana keluarga ini menghadapi hidup selanjutnya?
Bukankah keluarga ini harus melanjutkan hidup, apapun keadaannya?
Ungkapan lebih baik mati, hidup juga
gak guna, terasa tidak sopan, sarkas atau kasar, boleh jadi menggambarkan
keputusasaan. Namun dalam konteks seperti ini rasanya tidaklah demikian artinya.
Kala manusia menghadapi pilihan-pilihan yang sulit, cara menilai pastilah tidak
sama dengan keadaan normal.
Menghadapi situasi seperti ini memang
sangat problematis. Terutama bagi manusia yang memiliki iman dan menghayati
spiritualitas. Di beberapa negara Barat sudah ada regulasi yang membolehkan
manusia disuntik untuk mengakhiri hidup bila memenuhi sejumlah persyaratan,
agar tidak terlalu lama menderita. Salah satu sumber regulasi itu adalah hak
asasi manusia. Pemikiran yang sepenuhnya rasional yang tidak didasarkan pada
iman atau spiritualitas memang sederhana. Sesederhana matematika duniawi. Tiga
dikurang satu pasti dua.
Tidak demikian halnya dengan
matematika yang didasarkan pada iman, yang melekat dengan spiritualitas. Bila
Anda memiliki uang seribu rupiah dan memberikan lima ratus rupiah dengan ikhlas
kepada orang yang pantas menerimanya, faktanya uang Anda sisa lima ratus
sebagaimana yang diajarkan matematika duniawi.
Tetapi matematika yang didasarkan pada
iman menegaskan, Allah pasti, bukan akan, membalasnya berkali-kali lipat. Ini
garansi dari Allah. Balasan itu bisa dalam bentuk uang juga. Tetapi tidak
selalu dalam bentuk uang. Bisa berupa kesehatan, keselamatan, dan bentuk-bentuk
lainnya.
Begitupun manghadapi kematian. Secara
rasional benar adanya bahwa jika manusia mengalami kerusakan otak, apalagi
parah pasti tidak lagi dapat berfungsi sebagai manusia normal. Karena itu untuk
apa dipertahankan tetap hidup?
Ini bukan sekadar soal apakah manusia
masih bisa berfungsi lagi atau tidak. Bahkan bukan hanya soal bisa sembuh lagi
atau tidak. Ini soal siapa yang menentukan kematian.
Mengapa ada orang yang menderita
begitu lama sebelum akhirnya wafat? Ada rahasia di balik semua itu. Penalaran
rasional memang tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya secara mendalam.
Menghadapi situasi ini dibutuhkan penalaran spiritual. Penentunya adalah
keyakinan akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan.
Agama mengajarkan, penderitaan yang
dialami oleh manusia sebelum wafat dalam bentuk sakit berkepanjangan,
penderitaan mereka yang diluluhlantakkan tsunami, gempa bumi dan bencana lain,
memiliki makna di hadapan Allah. Semuanya diperhitungkan, diberi tempat. Itulah
sebabnya suntik mati tidak dibenarkan bagi manusia yang sangat menderita
sekalipun oleh aturan agama.
Kematian memang memiliki makna yang
tak menyenangkan. Kematian lekat dengan kehilangan, kesedihan, dan pedihnya
ditinggalkan oleh orang yang dicintai. Namun, kadang kematian adalah solusi
terbaik. Bila si ayah yang telah lama terbujur di ruang ICU wafat, pastilah
merupakan solusi bagi penderitaan keluarga ini.
Meskipun tetap akan dihadapi dan
dialami dengan kesedihan mendalam. Namun, terselip rasa syukur. Biasanya secara
halus diungkapkan dengan cara tidak langsung seperti, kepergian ini merupakan
yang terbaik baginya. Terbaik bagi semuanya. Meski kita sangat menyayangi dan
mencintainya, tetapi Allah lebih mencintainya. Ungkapan yang membuat semua yang
terlibat dalam kesedihan merasa lebih lega dan enteng.
Kematian
sebagai solusi juga bisa dialami oleh negara. Pada negara-negara komunis yang
dengan sengaja mentradisikan kultus individu, seringkali kematian merupakan
solusi terbaik untuk mengatasi konflik dan membuat negara menjadi stabil.
Saat Mao Tse Tung makin sepuh dan
kurang berfungsi, ia tetap jadi pemimpin besar. Karena para pendukung utama
dalam lingkar dalam kekuasaan tetap membutuhkan kehadiran sosoknya agar tetap
berada dan memertahankan kekuasaan. Tak pernah gampang mengganti pemimpin besar
di negara-negara komunis.
Sementara pemimpin besar semakin
dipunukkan penyakit parah, berkembanglah beragam spekulasi dan konflik yang
membuat negara menjadi tidak stabil. Ketegangan bisa berkepanjangan bila sang pemimpin
besar tidak pernah muncul ke publik.
Berbagai kelompok kepentingan bahkan
bisa secara langsung berhadap-hadapan memperebutkan kekuasaan. Kala akhirnya si
pemimpin besar wafat, biasanya stabilitas negara secara perlahan bisa
dikembalikan, pemimpin besar baru pun muncul. Cina mengalaminya pada masa Mao
dan Deng Xiao Ping. Korea Utara mengalaminya pada sama Kim Il sung dan Kim Jong
Il. Cuba juga mengalaminya.
Kematian kadang merupakan solusi
terbaik untuk sejumlah masalah yang dihadapi keluarga bahkan negara. Meski
begitu, manusia tetap harus sepenuhnya menyadari bahwa penentu kematian adalah
Allah.
“KEMATIAN KADANG MENJADI
PROBLEMATIS.”